LAPORAN
KONTRAK BELAJAR
PERILAKU KEKERASAN SEKSUAL
PADA WANITA DAN ANAK
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Jiwa I
![]() |
Disusun oleh :
RIYAN AKHMAD MUSTAGHFIRIN
NIM 1.1.20504
PRODI KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
2006
B A B I
P E N D A H U L U A N
A. LATAR BELAKANG
Disekitar kita banyak sekali ditemukan
permasalahan-permasalahan sosial yang setiap hari kita bisa dengar atau baca
berita baik itu di surat kabar, majalah, radio, televisi mengenai adanya
pembunuhan, kerusuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan masih banyak lagi yang
lainnya yang kesemuanya itu sungguh sudah sangat meresahkan. Bagaimana seorang
anak yang tega membunuh orangtuanya sendiri, tawuran antar warga, seorang suami
yang menganiaya istrinya, juga seorang ayah yang tega memperkosa anak gadisnya,
masih ada teman yang menganiaya dan memperkosa temannya sendiri, atau wanita
yang dianiaya secara seksual oleh pacarnya sendiri. dan hal tersebut sudah
menjadi hal yang sangat biasa terjadi di negara kita.
Sebagai contoh kasus di Tanjung Uncang, Batam yang
ditayangkan di acara “Jejak Kasus” Indosiar pada tanggal 8 Mei 2005 pukul 12.00
WIB, dimana seorang ibu yang datang ke kantor polisi dengan jerit tangis karena
anak sulungnya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD ‘digagahi’ oleh suaminya
sendiri yang notabenenya adalah ayah kandung dari bocah tersebut. Pelaku
mengaku sudah 3 kali melakukannya, tetapi sang anak mengatakan sudah 10 kali
diperkosa oleh ayahnya. Yang lebih mencengangkan lagi pelaku mengatakan
melakukan hal itu di samping istrinya pada saat sang istri tidur terlelap. Contoh
lain yang dilansir Kompas, tanggal 10 Maret 2003 di kawasan timur Yogyakarta dua bersaudara berumur 3,5 tahun dan 5 tahun
harus menerima kenyataan bahwa mereka tertular penyakit gonorrhea (salah satu
jenis penyakit menular seksual). Mana mungkin anak yang belum memiliki
ketertarikan seksual dengan lawan jenisnya tertular PMS. Belakangan diketahui
bahwa mereka telah diperkosa oleh seorang kakek yang bertetangga dan cukup
dikenal korban dan keluarganya.
Dalam catatan Komnas HAM Anak, kasus kekerasan terhadap
anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Khusus kekerasan seksual pada
tahun 2005, Komisi Perlindungan Anak mencatat ada 375 kasus yang didata
berdasarkan pengaduan yang mereka terima. Itu artinya angka tersebut bisa
bertambah jika menghitung kasus serupa yang tidak diadukan keluarga korban.
Permasalahan-permasalahan diatas menjadi suatu dilemma
yang bisa menjadi sebuah gambaran betapa terpuruknya moral bangsa ini. Disaat
seperti sekarang ini dimana semua orang mengembar-gemborkan kebebasan berekspresi
sementara kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan norma dan aturan yang
berlaku di masyarakat. Kasus perkosaan dan eksploitasi seksual terhadap
anak-anak di bawah umur yang tentunya dalam hal ini kaum hawa dan anaklah yang
menjadi korban dan obyek perilaku kekerasan seksual. Masih banyak kasus lain
yang terjadi di sekitar kita yang bisa menggambarkan bahwa perilaku kekerasan
seksual sudah tidak terhitung lagi banyaknya dan sudah tidak terkontrol lagi.
Para pelaku kekerasan seksual ini bukanlah orang yang sehat jiwanya,
pasti ada sebabnya yang mendasari mereka sehingga mereka berperilaku menyimpang
seperti yang disebutkan beberapa di atas.
Hal-hal inilah yang tersebut diatas, yang mendasari saya
untuk mengambil kasus perilaku kekerasan seksual pada wanita dan anak sebagai
judul laporan kontrak belajar ini. Dalam laporan ini, saya akan menitik
beratkan pada dampak-dampak yang ditimbulkan pada korban perilaku kekerasan
seksual.
B. TUJUAN PENULISAN
1.
TUJUAN UMUM
Mengetahui dan memahami tentang perilaku kekerasan
seksual pada wanita dan anak.
2. TUJUAN KHUSUS
Adapun
tujuan khusus yang ingin saya capai setelah penyusunan kontrak belajar ini
selesai adalah saya mampu :
a. Mengetahui dan memahami tentang pengertian
perilaku kekerasan seksual pada wanita dan anak.
b. Mengetahui tentang macam-macam perilaku
kekerasan seksual pada wanita dan anak.
c. Mengetahui dampak perilaku kekerasan
seksual pada wanita dan anak.
d. Mengetahui tentang dimensi-dimensi
kekerasan seksual.
e. Menjelaskan tentang rehabilitasi bagi para
korban perilaku kekerasan seksual.
B A B
I I
PERILAKU KEKERASAN SEKSUAL
PADA WANITA DAN ANAK
A.
PENGERTIAN
Kata kekerasan disini
diterjemahkan dari ”violence”. Violence berasal dari gabungan kata
latin yaitu ”vis” yang berarti daya
atau kekuatan dan ”latus” yang
berarti membawa, yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras,
kekuatan, paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Kekerasan
sebagai suatu pengaruh tertentu yang menyebabkan realitas jasmani dan mental
aktual seseorang ada di bawah realitas aktualnya. Artinya bahwa ada sistem atau
kondisi (struktural), atau perlakuan (non struktural/langsung) yang menyebabkan
seseorang tidak dapat mengaktualisasikan potensi dirinya (Galtung, 1992).
Dengan demikian, kata
kekerasan mengacu pada suatu bentuk penindasan, pemaksaan, dan berbagai bentuk
perlakuan lain yang menyebabkan seseorang dirugikan atau mengalami dampak
negatif dalam berbagai bentuk. Sedangkan kekerasan seksual mengacu pada suatu
perlakuan negatif (menindas, memaksa, menekan, dan sebagainya) yang berkonotasi
seksual, sehingga menyebabkan seseorang mengalami kerugian.
Selain itu penganiayaan
seksual dapat didefinisikan sebagai ekspresi dari kekuatan dan kekuasaan dengan
cara-cara kekerasan seksual, paling umum pada pria terhadap wanita walaupun
pria juga bisa menjadi korban dari penganiayaan seksual (Hoff, 1985 dikutip
dari Townsend, 1998). Sedangkan penganiayaan seksual pada anak dapat didefinisikan
sebagai adanya tindakan seksual mencakup tapi tidak dibatasi pada insiden
membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas, dan penetrasi (koitus
seksual) yang dilakukan pada seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa
(Townsend, 1993).
Berikut ini merupakan
tanda-tanda penganiayaan seksual pada anak, mencakup :
1. Infeksi saluran kemih yang sering
2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau
duduk
3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital
4. Sering muntah
5. Ansietas berlebihan dan tidak percaya
kepada orang lain
6. Penganiayaan seksual pada anak yang lain
7. Mungkin memar pada beberapa area tubuh.
Sedangkan di bawah ini
merupakan tanda-tanda penganiayaan seksual pada wanita (Burgess, 1984 dikutip
dari Townsend, 1998), mencakup :
1. Kontusio dan abrasi pada berbagai area
tubuh
2. Nyeri kepala, lelah, dan gangguan pola
tidur
3. Nyeri abdomen, mual, muntah
4. Sekret vagina dan gatal, rasa terbakar
saat defekasi, perdarahan dan nyeri rektal
5. Kasar, mempermalukan, hasrat untuk balas
dendam, menyalahkan diri sendiri
6. Kekutan terhadap kekerasan fisik dan
kematian
7. Rasa tidak berdaya yang sangat dan
kekerasan pribadi.
B.
MACAM-MACAM PERILAKU KEKERASAN SEKSUAL
PADA WANITA DAN ANAK
1.
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual (Sexual harassment) adalah terminologi
yang paling tepat umtuk memahami pengertian kekerasan seksual. Pelecehan
seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar
atau gurauan) yang jorok/ tidak seronoh, perilaku tidak seronoh (mencolek,
meraba, mengelus, memeluk, dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno,
serangan dan paksaan yang tidak seronoh (indecent
assault) seperti memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan
menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga
perkosaan. Pelecehan seksual dapat terjadi di mana pun selama ada percampuran
lelaki dan perempuan di komunitas yang homogen. Namun banyak terjadi di tempat
kerja, dan juga di tempat-tempat umum seperti di dalam bis kota, di jalanan, di
pasar, dan sebagainya.
2.
Perkosaan
Perkosaan adalah bentuk
kekerasan seksual yang paling populer dan dikenal oleh masyarakat luas. Menurut
pasal 285 KUHP, perkosaan berarti memaksakan hubungan seksual (penetrasi penis
ke dalam vagina) oleh lelaki terhadap perempuan yang bukan isterinya. Perkosaan
tidak semata-mata dilakukan mengunakan cara pemaksaan atau ancaman, namun juga
bujukan, janji-janji, dan penggunaan obat yang membuat korban tidak sadarkan
diri. Perkosaan juga tidak selalu penetrasi penis ke dalam vagina tetapi juga
dapat berupa sodomi (penetrasi penis ke dalam anus), dan oral seks. Korban
perkosaan sebagian besar adalah wanita (walaupun tidak menutup kemungkinan pria
yang menjadi korban), dan wanita usia 16-24 tahun adalah masa beresiko tinggi
tetapi korban perkosaan juga ada yang berumur paling 15 bulan dan paling tua 82
tahun.
3.
Incest
Kekerasan seksual yang
termasuk dalam kategori ini adalah yang terberat, karena pertimbangan bahwa si
pelaku adalah orang dekat atau keluarga sendiri sehingga biasanya berulang
terus, dan antara si korban dan si pelaku besar kemungkinannya untuk masih bisa
bertemu. Korban incest biasanya
anak-anak dan mereka seringkali tidak menyadari akan apa yang terjadi pada
dirinya, mereka baru menyadari kelak setelah dewasa atau apabila kemudian
terjadi kehamilan. Kekerasan seksual pada anak-anak ini biasanya terjadi tanpa
perlawanan dan relatif jarang menimbulkan trauma fisik karena biasanya
anak-anak tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya.
4.
Bentuk kekerasan seksual yang lain
4.1
Ekshibisionisme
Merupakan kebiasaan seseorang
yang suka memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang lain, dan pelaku biasanya
mendapatkan kepuasan dari ketakutan atau teriakan korbannya.
4.2
Pedophilia
Merupakan dorongan atau
fantasi seksual yang biasanya dilakukan dengan anak-anak. Pelaku hanya akan
terangsang oleh anak-anak dan biasanya melakukan perkosaan pada korban.
4.3
Algolagnia
Merupakan perilaku kekerasan
seksual yang terkait dengan tindakan menyakiti dan disakiti. Pada Sexual Sadism, yang menjadi korban
adalah orang lain. Sedangkan Sexual
Masochisme adalah dirinya sendiri yang disakiti oleh pasangannya.
Tindakannya antara lain dengan memukul, menggigit, menjambak, dan sebagainya.
4.4
Analingus
Merupakan tindakan untuk
merangsang anus seseorang dengan mulut, lidah, bibir pasangannya, bahkan benda
asing seperti botol atau bola lampu dengan cara memasukkannya ke dalam anus.
C.
DAMPAK PERILAKU KEKERASAN SEKSUAL
Ada dua dampak yang terjadi
pada korban kekerasan seksual menurut Galtung, 1992 yaitu :
1.
Dampak Fisik
Para korban kekerasan seksual
kebanyakan diperlakukan secara tidak manusiawi dan disakiti fisiknya seperti
dipukul, ditampar, ditendang, dan sebagainya. Banyak pula yang menderita cacat
fisik seperti kulit belang-belang dan lebam, seluruh tubuh penuh luka, pincang
kakinya bahkan ada yang menjadi kecil salah satu kakinya akibat ditendang,
kerusakan alat kelamin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ada pula yang
menderita penyakit yang berhubungan dengan alat kelamin seperti ruptur vagina,
infeksi vagina, PMS, bahkan terkena HIV/AIDS. Masih ada korban yang tidak bisa
hamil karena adanya disfungsi dari organ reproduksinya.
2.
Dampak Psikis
Kekerasan seksual selain
membawa dampak fisik juga membawa dampak psikis bagi para korbannya. Mereka
biasanya malu, takut yang berlebihan, merasa tertekan, dan merasa tidak punya
masa depan. Mereka juga bisa mengalami trauma dalam berhubungan seksual dan
takut apabila harus bertemu dengan orang yang telah melecehkannya. Kemungkingan
mereka juga akan mengalami depresi, menarik diri dari lingkungan, pendiam,
introvert, HDR, kurang percaya diri, bahkan mungkin menjadi agresif dan
mengamuk. Yang lebih parah mereka bahkan mencoba mengakhiri hidupnya dengan
cara bunh diri.
Akibat dari perkosaan biasanya
adalah trauma jangka panjang, dimana mereka mengalami masalah psikologis yaitu
sulit memulai hubungan dengan orang lain dan menerima cinta dari orang lain.
Pada diri mereka muncul kecemasan-kecemasan yang berkaitan dengan penilaian
teman sebaya terhadap dirinya, penilaian calon pacar, serta reaksi orang lain
ketika mengetahui kejadian yang menimpa dirinya. Lebih lanjut, kecemasan
tersebut dapat membuatnya menjadi ragu-ragu dalam menjalin hubungan antar
jenis, menghindari atau bahkan menarik diri.
Menurut Shinto B Adelar
seorang psikolog, kekerasan seksual membawa dampak menyeluruh pada diri korban
yang meliputi aspek fisik, emosi, pikiran, moral, hubungan sosial, spiritual,
perilaku maupun perkembangan kepribadian umumnya. Selain itu konsep diri dan harga dirinya pun
terpengaruh. Masih ada masalah psikososial lain yang menghadangnya seperti dikucilkan
dari keluarga dan lingkungan, kehilangan suami, kehilangan penghasilan,
perasaan berdosa, merasa dirinya kotor dan tidak berharga, dan lain-lain. Pada
anak-anak diperkirakan akan mempengaruhi pemahaman dan persepsinya mengenai
hubungan seksual. Persepsi mengenai kejadian yang menimpa mereka pun dapat
berubah di masa remaja yang secara alamiah perhatian dan minat mereka dalam
pergaulan antar jenis. Pada remaja tersebut akan timbul kecemasan-kecemasan
yang berkaitan dengan penilaian teman sebayanya, penilaian calon pacar, reaksi
orang lain ketika mengetahui masa lalunya dan sebagainya. Lebih lanjut,
kecemasan itu dapat membuatnya menjadi ragu-ragu dalam menjalin hubungan antar
jenis, menghindari atau bahkan menarik diri. Mungkin dia akan menilai bahwa dirinya
”sudah rusak” sehingga sudah tidak pantas lagi untuk berhubungan sengan orang
lain. Selain itu dikhawatirkan pelecehan atau perkosaan dapat mempengaruhi
orientasi seksual seseorang. Karena trauma dengan laki-laki misalnya seorang
gadis memutuskan untuk menjalin hubungan dengan sesama jenis. Atau sebaliknya,
pengalaman sodomi membuatnya terdorong untuk mengulanginya dengan teman sesama
jenis entah itu sebagai pembenaran atas kejadian yang menimpanya atau secara
tidak disadari sebagai tindakan balas dendam agar bukan hanya dirinya saja yang
mengalami kejadian tersebut.
Beberapa perubahan perilaku
bagi mereka yang dapat dicurigai sebagai akibat dari perilaku kekerasan yang
mereka dapatkan menurut Tim Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre Yogyakarta, antara lain :
1. Menyendiri
2. Mengisolasi diri dari orang lain
3. Enggan pergi ke tempat tertentu atau pergi
dengan orang tertentu
4. Menunjukkan perilaku yang merusak diri
sendiri seperti pergi dari rumah, menyakiti orang lain secara fisik, terjerumus
dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, atau mungkin bunuh diri
D.
DIMENSI-DIMENSI KEKERASAN SEKSUAL
Menurut I Marsana Windhu, 1992
dimensi kekerasan dibagi menjadi :
1.
Kekerasan fisik dan psikologis
Dalam kekerasan fisik tubuh
manusia disakiti secara jasmani, bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Disini
jelas sekali bahwa kemampuan somatis korban akan berkurang atau hilang sama
sekali. Situasi ini juga yang menyebabkan kesehatan jiwa dan rohani korban juga
berkurang.
2.
Pengaruh positif dan negatif
Mengacu pada sistem orientasi
imbalan (oriented reward) dimana
seseorang dapat dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum tetapi juga dengan
memberi imbalan. Dalam sistem imbalan setidaknya terdapat sistem pengendalian,
tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulatif meskipun memberikan
kenikmatan atau euforia. Yang
ditekankan disini adalah kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas itu
penting adanya.
3.
Ada obyek atau tidak
Menurut Galtung, 1992 dalam
setiap tindakan tetap ada ancaman kekerasan baik secara fisik maupun psikologis.
Meskipun tidak memakan korban, tetapi dapat membatasi tindakan manusia.
Meskipun tidak ada obyek yang langsung dikenai, tetap ada ancaman kekerasan
baik pada diri seseorang atau apa yang dimiliki orang tersebut.
4.
Ada subyek atau tidak
Dampak kekerasan juga mempengaruhi
pelaku karena akan ada suatu perasaan bersalah atau suatu ingatan yang
mengganggunya sehinggadia akan mengalami stress.
5.
Disengaja atau tidak
Menurut Galtung, 1992
perbedaan ini justru penting karena akan mengungkap berbagai kemencengan
pemahaman mengenai kekerasan yang dilakukan dengan sengaja. Pemahaman yang
hanya menekankan unsur sengaja ini tentu tidak cukup untuk melihat dan
mengatakan kekerasan struktural yan bekerja dengan halus dan tidak disengaja.
Tetapi dilihat dari sudut korban, sengaja atau tidak kekerasan tetap kekerasan.
6.
Yang tampak atau tersembunyi
Kekerasan yang tampak dapat
dilihat meski secara tidaklangsung, sedangkan kekerasan tersembunyi adalah
sesuatu yang memang tidak kelihatan tapi bisa dengan mudah meledak. Kekerasan
tersembunyi akan terjadi pada situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga
tingkat realisasi aktualnya dapat menurun dengan mudah.
E.
REHABILITASI PARA KORBAN PERILAKU
KEKERASAN SEKSUAL
Beberapa cara yang digunakan
dalam program rehabilitasi atau pengembalian bagi para korban perilaku
kekerasan seksual diantaranya yaitu dengan model konseling, misal melakukan
konseling pada remaja. Kita harus membina hubungan saling percaya dengan para
korban perilaku kekerasan seksual tersebut, yakinkan pada mereka bahwa kita
tulus ingin membantu. Kita juga harus peka dalam mendengarkan kebutuhan klien
dengan seksama, mengobati masalah medisnya, jika memungkinkan tawarkan tes
kehamilan, memberikan informasi tentang PMS ataupun HIV/AIDS, dan juga adakan
pengkajian psikologis serta kesehatan mental para korban kekerasan seksual
tersebut.
Selain itu, untuk mengatasi
masalah dari luka-luka fisik yang kemungkinan diderita oleh para korban
kekerasan seksual bisa dengan membawa dan mengobatinya di tempat-tempat
pelayanan kesehatan seperti di rumah sakit, puskesmas, klinik kesehatan, balai
pengobatan, dan sebagainya.
Yang membutuhkan penanganan
khusus adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan psikis para korban
kekerasan seksual ini. Mereka mengalami stress psikologi yang mungkin bisa saja
menjadi gangguan kesehatan mental atau kesehatan jiwa. Dukungan dari
orang-orang terdekat maupun dari lingkungan sekitarnya sangat membantu mereka
agar mereka tidak terlalu larut dalam kesedihan dan penderitaan yang sedang
dihadapi. Tidak malah mengucilkan mereka dari pergaulan dan juga di lingkungan
tempat tinggalnya. Pada intinya, kepedulian dan perhatian adalah dua kata yang
sangat berarti dalam upaya membantu para korban kekerasan seksual ini dalam
proses mereka melanjutkan hidupnya. Tunjukan pada mereka bahwa kita peduli pada
penderitaan yang mereka alami.
Komnas HAM anak juga juga
membuat sebuah lembaga yang dinamakan ”Crisis
Centre”, dimana anak-anak dipisahkan jauh dari lingkungan yang membuatnya
trauma, pemberian terapi-terapi yang membuat mereka bisa melupakan trauma
tersebut, maupun bantuan yang bersifat advokasi.
Keluarga berperan besar dalam
proses rehabilitasi para korban kekerasan seksual ini. Ketika kita sebagai
keluarga mengetahui ada keluarga kita yang menjadi korban kekerasan seksual, maka
respon yang paling baik adalah mendengarkan secara hati-hati apa yang mereka
katakan dan memperhatikan perubahan perilaku mereka. Tunjukkan pada mereka
bahwa kita peduli, bertanyalah kepada mereka dengan tanpa memaksa mereka untuk
menjawab. Biarkan mereka tahu bahwa kita siap mendengarkan kapan saja. Setelah
mereka menceritakan bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual, langkah
awal yang tepat adalah dengan memberi dukungan. Selanjutnya ada beberapa tahap
yan dapat dilakukan, antara lain :
1. Bicaralah dengan anak di tempat yang
terjaga privasinya, bawalah ke tempat yang tenang. Biarkan anak bercerita
tentang apa yang terjadi dengan menggunakan bahasa mereka sendiri tanpa memaksa
mereka untuk menjelaskan secara detail. Detail pertanyaan lebih baik dilakukan
oleh orang yang terlatih.
2. Dengarkan apa yang mereka ceritakan.
Terimalah apa yang mereka ceritakan walaupun sulit untuk mempercayainya.
3. Bersikap tenang dan jangan bereaksi
berlebihan seperti marah.
4. Tenangkan mereka. Biarkan mereka tahu
bahwa kita akan menolong mereka dan jelaskan pula bahwa kita mungkin akan
berbicara dengan orang lain yang akan membantu dia.
5. Mencari pertolongan sesegera mungkin.
Segera ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Atau
pergi ke crisis centre atau lembaga
sosial lain yang memberikan layanan kepada para korban kekerasan seksual. Atau
ke polisi untuk segera diproses secara hukum.
B A B
I I I
P E N U T U P
A.
KESIMPULAN
Perilaku kekerasan seksual
merupakan ancaman terutama bagi wanita dan anak-anak, berapapun usianya, apapun
status sosial-ekonominya, tingkat pendidikannya, dan faktor pendukung lainnya.
Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja bahkan di rumah sendiri sekalipun,
oleh siapa saja bahkan oleh suaminya sendiri atau keluarganya sendiri.
Bagaimana dampak bagi para
korban perilaku kekerasan seksual itu sendiri dimana bisa terjadi trauma
seksual, stress psikologi, kehamilan tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), penularan PMS dan HIV/AIDS, gangguan fungsi
reproduksi, kerusakan organ reproduksi, dan masih banyak lagi akibat lain yang
ditimbulkan.
Program konseling bisa
dilakukan sebagai salah satu bentuk rehabilitasi bagi para korban perilaku
kekerasan seksual, dimana kita bisa membangun sebuah hubungan saling percaya
dengan mereka adan ketulusanlah yang kita bawa untuk membantu mereka
menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Selain itu kepedulian dan
perhatian adalah kunci dari semuanya agar bisa membantu mereka melanjutkan
hidupnya.
B.
SARAN
Bagi seorang korban perilaku kekerasan
seksual, dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat serta lingkungan di
sekitarnya adalah sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan dirinya
disamping koping individu mereka tentunya. Oleh karena itu, anggapan-anggapan
buruk tentang mereka harus segera dihapus. Terimalah mereka dalam keluarga dan
lingkungan sosialnya dengan baik agar proses penyembuhan fisik dan psikisnya
dapat lebih cepat.
Masyarakat juga hendaknya
tidak mengisolasi para korban ini karena dengan penerimaan dirinya di masyarakat
akan bermanfaat bagi mereka sekaligus menghapus luka psikologis yang diderita.
REFERENSI
Hidayana, I. M, dkk (2004) ”Seksualitas : Teori dan Realita”.
Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI
Tomb, David. A (2003) ”Buku Saku Psikiatri Edisi 6”. Jakarta: EGC
Juningsih, Lucia (1999) ”Dampak Kekerasan Seksual Pada Jugun
Ianfu”. Yogyakarta: Pusat Penerbit Kependudukan UGM
Townsend, Mary. C (1998) ”Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada
Keperawatan Psikiatri: Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3”.
Jakarta: EGC
Kaplan, Harold. I. Saddock, Benjamin (1998)
”Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat”.
Jakarta: Widya Medika
Wisnu, I. Marsana (1992) ”Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan
Galtung”. Yogyakarta: Kanisius
Saputra, Erwin. Dison, Ahmad. Wulan. (Senin, 8 Mei 2006) “Jejak
Kasus : Ayah, Teganya Dirimu” . http://news.indosiar.com
Tim Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre Yogyakarta (Senin, 10 Maret 2003). “Jangan Biarkan Masa Depan Bunga Terenggut”. http://www.kompas.com
Utami, Ruth Hesti (Sabtu, 13 Maret 2004) “Kekerasan Seksual terhadap Anak Ajarkan Anak untuk Berkata :
Tidak!”. http://www.sinarharapan.co.id
Adelar,
Shinto. B (24 April 2003) “Pelecehan
Seksual dan Perkembangan Anak”. http://www.suarapembaruan.com
2 comments:
Thx tlah berkunjung
Terimakasih atas saran link anda,,,,semoga membantu
Post a Comment
Dimohon untuk berkomentar yang sopan